PUASA RAMADHAN

Bulan Ramadhan adalah bulan kesembilan pada kalender Hijriah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan baru diperintahkan/diwajibkan pada tahun kedua Hijriah.

Pada tahap awalnya, perintah berpuasa ini bertujuan untuk membangun kehidupan pribadi maupun kehidupan social yang terjaga, terlindung dari prilaku yang buruk.

Kalau kita mau memperhatikan Al-Qur’an, kita akan mengetahui bahawa tujuan berpuasa itu ialah : 1. Hidup bertaqwa 2. Menjadi manusia a’lim (berilmu) 3. Menjadi hamba yang bersyukur 4. Menjadi hamba yang sentiasa berada di jala yang benar. ( Surah Al-Baqarah ayat 183-187 ).

Puasa bukanlah sekedar menahan diri dari lapar dan haus sejak fajar sehingga matahari terbenam pada bulan Ramadhan. Bukan ini! Jika hanya menahan diri dari lapar dan haus, maka puasa demikian, hanya untuk memenuhi kaidah fiqh, maka tak akan tercapai maksud dan tujuan berpuasa tersebut.

Puasa yang sejati adalah, yang dapat memotivasi pelakunya untuk meraih tujuan puasa, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut di atas.

Lalu, bagaimana wujudnya ? Tentu sebagai anggota komunitas muslim, kita lakukan tata karma/adab-adab puasa itu seperti : mencegah makan, minum dan berhubungan suami istri dari Fajar masuk waktu Shubuh hingga matahari terbenam. Sebagai tata karma/adab, tidak perlu gopoh gapah, berlarian atau tergesa-gesa mengambil makanan atau minuman, saat tanda masuknya waktu Maghrib tiba. Seringkali kita mengamati keadaan yang terjadi pada saat azan Maghrib tiba, apa yang terjadi ? Nampak banyak sekali orang yang seakan-akan kelaparan dan kehausan.

Bulan Ramadahan juga tidak dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebagai bulan suci. Namun banyak juga orang yang berlebih-lebihan dalam menyucikan bulan Ramadahan dan sambil mengatasnamakan Tuhan, mereka melakukan kerusakan dan kezaliman. Yang begini ini, malah merusak citra Islam dan mencemari kemuliaan ummat Islam. Bukankah bulan Ramadhan itu, bulan yang di dalamnya kita diseru untuk melatih diri, agar kita dapat mengendalikan/mengawal hawa nafsu, tetapi mengapa masih ada orang Islam yang berbuat anarkis.

Nah! Bagaimana cara kita mengisi bulan Ramadhan, agar maksud dan tujuan yang disampaikan Al-Qur’an itu dapat terwujud dalam kehidupan nyata ini ?

Pertama : KITA HARUS JUJUR TERHADAP DIRI SENDIRI. Coba perhatikan dengan seksama surah Al-Baqarah ayat 184 ditegaskan :

و على ا لذ ين يطيقو نه فد ية طعا م مسكين فمن تطوع خيرا فهو خيرله وان تصوموا خيرلكم


ا ن كنتم تعلمو ن

Yang artinya : Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya, membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang rela melakukan kebajikan, maka itu yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu, bila kamu mengetahui.


Jadi jelas sekali bahawa di dalam bulan Ramadhan, Tuhan sendiri memberikan kompensasi bagi ummat Islam. Bila ada orang yang berat dalam menjalankan puasa, maka ada kewajiban lain sebagai kompensasinya yaitu memberi makan sorang miskin. Jika dia memberi lebih, wah…itu lebih baik lagi. Dan, lebih baik lagi bila di luar bulan Ramadhan, dia mengganti puasa yang ditinggalkannya selama bulan Ramadhan.

Kedai nasi dan restaurant yang buka di siang hari selama bulan Ramdahan itu adalah untuk mereka yang berat menjalankan ibadah puasa, juga untuk memenuhi keperluan orang yang sedang sakit, orang-orang yang amat berat pekerjaannya, orang-orang yang sedang dalam perjalanan/musafir dan bagi mereka yang beragama lain. Jadi kedai nasi dan restaurant itu buka, tidak ditujukan kepada orang yang berpuasa. Sebab orang yang berpuasa kalau jujur pada dirinya, sudah tentu tidak akan mebatalkan puasanya, hanya gara-gara melihat ada kedai nasi dan restaurant yang buka di siang hari Ramadhan. Inilah ajaran kejujuran yang luar biasa.

Kedua : Pada surah Al-Baqarah ayat 185 dijelaskan dengan jelas dan terang temarang, bahawa Allah Swt, menghendaki kemudahan bagi manusia dan tidak menghendaki kesuakaran.

ير يد الله بكم اليسر ولا ير يد بكم العسر

Mengapa kita malah menyusahkan ummat dengan berbagai-bagai aturan fiqh tambahan. Kita mendidik ummat agar alam fikiran mereka dapat tumbuh dewasa, sehingga kita dapat melihat hasilnya. Artinya puasa yang dijalankan sebulan penuh, namun dorongan hawa nafsunya dalam kehidupan sehari-hari tidak semakin baik.

Banyak orang malah tak dapat atau tak mau menerima pernyataan Allah Swt tersebut. Jelas, Allah Swt memberikan kemudahan, tapi kita malah berlagak kuasa dan akhirnya memberikan kesukaran bagi orang lain. Bagaimana kita dapat bersyukur sebagaimana dimaksud dalam ayat itu, bila prilaku kita menyusahkan orang lain.

Ketiga : Berpuasa itu bertujuan untuk meraih sesuatu yang mulia, yaitu untuk membangun diri agar hidup di jalan yang benar.

لعلهم يرشد و ن

Agar mereka memperoleh kebenaran.

Dengan berpuasa sebulan penuh, kita dididik untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kita dapat merasakan bahawa Tuhan itu dekat dengan kita. Kalau kita sudah dekat, ya do’a kita pasti dikabulkan. Bukankah selama menjalankan puasa, kita tetap harus memenuhi seruan Allah, yaitu amal ibadah dan meningkatkan iman kita.

Tetapi jangan salah faham tentang makna do’a yang dikabulkan itu. Do’a yang dikabulkan itu adalah, do’a yang berisi permohonan untuk hidup yang semakin dekat dengan Allah Swt.

Oleh kerana itu, kita tidak hanya berhenti pada syari’at, sebab kita tidak akan sampai pada akhlak yang mulia. Orang yang hanya berhenti pada syari’at, disebut sebagai orang yang hanya pandai bicara. Orang ini tidak memahami maksud dan tujuan syari’at. Dikiranya syari’at dan akhlak tidak ada hubungannya. Dianggapnya bahawa dengan bersyari’at, sudah cukup dan dapat mengantarkannya ke syurga.


Syari’at hanyalah koridor atau jalan. Artinya; Syari’at tidak cukup hanya dilalui, apalagi berhenti di tengah jalan, lebih buruk lagi kalau berhenti total. Orang yang melewati syari’at itulah, yang diharapkan dapat berlaku tertib, tidak bertikai di tengah jalan dan dapat menunjukkan tata karma/adab kehidupan yang baik.

Nah! Berkait dengan puasa, bahawa puasa syari’at itu harus dilanjutkan dengan empat macam prilaku.

Pertama : Berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan puasa, kita diharapkan dapat hidup mengikuti kehendak Tuhan, namun tidak bermakna pasif yaitu tinggal menjalani sahaja, akan tetapi kita harus menjalankan kebajikan yang dikehendaki oleh Tuhan.

Kedua : Orang yang berpuasa, harus tidak merasakan sakit hati, bila dibicarakan oleh orang lain. Orang berpuasa tidak mudah terpancing oleh emosinya. Pelaku puasa tidak mudah terbakar. Dalam bahasa pergaulan, orang Islam itu harus dapat menerima kritikan, sepahit apapun kritikan itu. Kita harus dapat menanggapi dengan langkah hidup yang tenang, teguh dan indah.

Ketiga : Orang berpuasa harus mampu menyaring/menapis ucapan dan tutur kata dari teman, saudara atau orang lain yang mengingatkan kita, bila prilaku kita ada yang kurang. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang terlatih puasa, harus pandai mendengarkan orang lain. Jadi bukan hanya pandai bicara, tetapi juga pandai mendengarkan dengan penuh perhatian.

Keempat : Tidak membanggakan kebaikan diri, tidak mempamerkan amal kebajikan dan tidak membanggakan jasa yang pernah dilakukannya. Dalam hidup sehari-hari, dia tetap menjaga diri dan rendah hati dan sentiasa memerangi gejolak hawa nafsu.

Puasa Ramadhan yang sebulan itu, harus dapat diwujudkan dalam bentuk akhlak mulia dan menjadi bahagian dari budi pekerti kita. Tanpa ini semua, maka puasa kita hanyalah sebentuk upaya menahan diri dari lapar, haus dan nafsu hubungan suami istri dalam rentang waktu fajar hingga matahari terbenam dalam beberapa jam sahaja. Apanya yang diperoleh ? Ya! Tentu sahaja kita hanya memperoleh rasa lapar dan dahaga.

Dengan tercapainya memiliki adab-adab hidup/tata karma yang terpuji dalam kehidupan sehari-hari, maka percekcokan/pertelingkahan yang tiada gunanya, dapat kita hindari. Yang tercipta adalah suasana SEPI ING PAMRIH, RAME ING GAWE. Yang ada adalah banyak yang dapat kita kerjakan dan sepi dari kepentingan dan inilah wujud dari pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Jika seseorang dapat menjalankan puasa yang sejati dalam kehidupan ini, sebenarnya dia telah menang berperang dengan iblis. Ya…orang-orang yang telah menang perang dengan iblislah yang akan menerima anugerah agung dari Tuhannya.

Orang yang berperang dengan iblis yang ada dalam dirinya, adalah orang yang melakukan perang sabil yang sesungguhnya. Jadi perang sabil, bukanlah perang dengan orang kafir. Tetapi di dalam dada kitalah perang sabil itu terjadi, lantaran kekafiran itu bergolak hebat untuk mengalahkan niat suci dan luhur kita di dalamnya. Jika kita tidak mampu mengalahkannya, sudah tentu prilaku kita, sifat kafirlah yang muncul. Coba kita perhatikan sahaja prilaku sebahagian besar tokoh di negeri ini, negeri yang penghuninya mayoritas beragama Islam, tetapi prilaku Islami, amatlah suram.

USTAZ HJ. BURHANUDDIN SR.